Kunanti Keluarga di UCLA
April 19, 2018
Surat
demi surat dia kirim, detik demi detik dia nanti. Hingga akhirnya dia mendapat
surat balasan dari UCLA untuk menimba ilmu di sana. Dua tahun di Negara orang
tanpa sanak saudara bukanlah hal yang enak dilalui, sebab keluarga adalah
jantungnya seorang pria. Bagaimana tidak, hidup terpisah itu (sangat) tidak enak,
meski itu beralaskan demi menuntut ilmu. Untungnya dia memiliki teman dari
Negara yang sama, walaupun itu bukan teman seangkatannya, yakni Din Syamsuddin,
Thoha Hamim, Syafiq Mughni, Atho’ Mudzar, mereka semua adalah teman
diatasannya.
Orang
yang pandai bergaul sepertinya tidak akan menemukan kesulitan dari segi budaya,
sebab di Medan saja dia sudah biasa bergaul. Sehingga dia hanya tingal
menyesuaikan diri saja di sana. Terlebih lagi jika ditanya dalam hal
berkomunikasi, dia tidak akan kebingungan. Berbagai bahasa telah dia kuasai. Hanya
saja dia merasa shock dari segi
akademik, karena suasana belajarnya berbeda. Pun sikap dosen berbeda, di sana
sikap dosen tidak sama seperti sikap dosen di sini (read: Medan) yang terkesan
seperti menjaga jarak dengan mahasiswanya.
Jika
sudah begini hal yang diinginkan adalah keluarga. Ingin sekali rasanya berbagi
dan menceritakan semuanya pada mereka. Ingin berada di samping mereka tanpa
jarak. Tapi lagi-lagi karena menuntut ilmu, semua harus dilalui. Kehidupan
seorang diri pun tidak begitu dia nikmati. Atho’ Mudzar sudah dia anggap
seperti abangnya. Bagaiamana tidak, mereka menjalani hidup berdua di apartemen,
layaknya anak kos-kosan di Medan. Atho’ sering menasehatinya dan juga sering
marah. “Betullah orang Batak,” ucapnya sering. Atho benar-benar mengenal
sosoknya dengan baik. Hingga saat dia telah usai menyelesaikan pendidikannya
dan kembali ke Indonesia, komunikasi anatara mereka masih tetap berjalan.
Untuk
menyelesaikan pendidikan masternya, dia melakukan penelitian mengenai etika
hukum Islam, khusunya meneliti tentang hakim dan peradilan. Sebab saat itu dia
lebih banyak mata kuliah di fakultas hukum dan ilmu sosial.
Di
Indonesia pada masa itu sudah ada diskusi tentang lembaga peradilan agama dan
tengah menjadi perbincangan hangat. Sebab peradilan agama itu sesuatu yang
salah tempat kerena mengenai teori pemerintahan tiga cabang, pembuat hukum,
menjalankan hukum, dan mengadili hukum. Jadi kalau yudikatif harus berdiri
sendiri dan independen. Tidak mungkin di bawah menteri karena menteri itu
eksekutif. Di Indonesia peradilan itu di bawah Menteri Agama, sedangkan itu
peradilan, yudikatif. Disitulah letak kesalahannya sehingga dia bertekad untuk
melakukan penelitian mengenai etika hukum Islam.
Pada
akhirnya melalui penelitian yang dilakukannya ditetapkan bahawa pengadilan
agama menjadi pengadilan kelas kedua. Penetapan itu mengalami perjalanan yang
cukup panjang. Dia diajak untuk mempresentasikan hasil penelitiannya itu dan
sempat juga diundang Kemeneterian Agaama. Buah hasil penelitiannya itu
diserahkannya ke UCLA melalui copyright dan diterbitkan dalam bentuk pdf. oleh
UCLA.
Setelah
selesai menempuh pendidikan masternya dia kembali ke Indonesia. Dia kembali ke
Indonesia bukan untuk menetap. Melainkan untuk menjemput keluarganya. Sosok
pria yang cerdas sepertinya tidak diragukan lagi jika langsung diterima S3 dan
mendapat beasiswa lagi. Sebab itulah dia kembali ke Indonesia. Alasannya satu,
keluarga. Pak Menteri Munawir Sjadzali yang saat itu pernah datang ke Amerika
berjanji kalau S3-nya sudah pasti, Munawir akan membantunya untuk membawa
keluarga kemari (read: Amerika).
Meski
sudah berada disatu Negara yang sama, tapi tetap saja masih dipisahkan oleh
waktu. Alm. Prof. Fadhil Lubis hanya bisa berkumpul dengan keluarga di hari
Sabtu dan Minggu, sedangkan hari lainnya dihabiskan untuk bekerja dan kuliah. Sedangkan
istrinya selama di sana juga bekerja menjadi baby sitter. Kebetulan usia anak Alm. Prof Fadhil Lubis dan Sari
Eka masih berusia 3 tahun dan ada orang dari Semarang yang istrinya kerja di
supermarket yang tiap harinya selalu menitipkan anaknya di rumah mereka.
Darisitulah bermula istirnya menjadi seorang baby sitter. Meski untuk menjadi seorang baby sitter istrinya harus mengikuti kursus untuk memiliki
sertifikat. Di Amerika memang harus memiliki sertifikat untuk menjadi seoarng baby sitter. Sangat berbeda dengan di
Indonesia. Disana juga hanya akan dititipkan 5 atau 6 orang anak. Pekerjaan Eka
sangat membantunya.
Keluarga
datang, teman-teman lama kembali ke Indonesia dan diganti dengan orang-orang
baru. Meski begitu hubungan dengan teman lama tetap terjalin dengan baik.
Misalnya saja dengan Atho’ dan Din Syamsuddin. Teman adalah alasan kita tetap
berdiri saat sendiri. Pun keluarga adalah alasan kita tetap bertahan meski itu
menyakitkan.
2 komentar
kok nyesek bacanya ya :(
BalasHapusLebih nyesek mana bang sama ingat si dia? Eh- Hahaha
Hapus