Pilu Sisa Debu Sinabung
Agustus 20, 2017
Aku menyusuri wilayah Karo, Sumatera Utara dengan
perasaan miris yang tak menentu. Ketika pertama kali menginjakan kaki di tanah
batak ini, suasana dan kondisi tak begini. Kini pemandangan yang terhampar
dihadapanku sungguh membuat batinku pilu dan tersentak. Betapa tidak, daerah
pegunungan yang konon terkenal akan hasil taninya itu kini dibaluri debu awan
panas dan juga kering kerontang. Rumah-rumah sudah dibalut cat debu, yang tak
berpenghuni lagi. Beberapa rumah hanya menyisahkan puing-puing. Seonggok bak
pengangkut sayur-mayur yang telah luluh lantah tergeletak di jalan. Mayat yang dibalut debu awan panas terbujur
kaku membuat hati meringis. Kulihat para TNI, Basarnas serta warga sibuk
mengangkat mayat yang ada. Kondisi daerah tersebut sangat menyedihkan.
Senja mulai reabah keperaduan dan matahari menyisakan
redup sinarnya. Cahaya temaram sang raja siang itu begitu kontras dengan
suasana muram di kampung petani yang beradius 3 kilometer dari kaki bukit.
Kesunyian yang mencekam begitu terasa. Aku terus menelusuri tiap jalan di
kampong itu. Tidak jauh dari tempat aku berdiri, aku melihat seorang lelaki
dengan rambut yang dibalut debu berdiri didepan rumah yang tak lagi utuh. Aku
mendekati lelaki itu perlahan. Matanya menerawang seakan menembus cakrawala nun
jauh diujung sana.
“Maaf, bapak mengapa masih disini?” aku menyapa
lelaki itu.
Lelaki itu tidak menjawab, lalu menggeser kakinya ke
kanan member rauang padaku untuk berdiri tepat di sampingnya. Kupandangi dia
seketika. Matanya masih menatap kosong kedepan. Aku menelan ludah menata
kegugupan yang mendera. Sejenak kami diam seperti mencoba menebak pola pikiran
masing-masing. Sekilas aku melirik sosok lelaki itu. Ia memiliki sebaris kumis
yang tak begitu tebal dan tipis melintang rapi dibawah hidungnya. Lingkaran
hitam disekeliling matanya gagal menyembunyikan kantung mata yang tergurat di
wajahnya.
“Wartawan?” Tanya lelaki itu memecah keheningan
diantara kami. Ia menantapku setengah hati.
“Wartawan kampus Pak.”
“Mau liputan keadaan di sini?”
Aku menggeleng. “Mau nyari tempat untuk ngadain
Pelatihan Jurnalistik Tingkat Lanjut (PJTLN) untuk PersMa Pak. Kenalkan, nama
saya Almi,” sahutku sembari mengulurkan tangan.
“Poetra” jawab lelaki itu seraya menyambut uluran
tanganku. Setelah itu, dia kembali mengalihkan pandangannya ke depan.
Menerawang entah kemana.
“Sudah lama tinggal disini?” tanyaku hati-hati.
“Sejak lahir saya disini.” Sahutnya pelan. “Sampai
menikah dan memiliki dua orang anak.” Nadanya terdengar getir.
Aku menangkap kesedihan menggelayut disana.
“Kini buah hatiku tiada lagi.”
Matanya kembali memandang kosong kedepan. Namun
dipelupuknya terlihat bulir-bulir air mata mulai mengalir. Seketika perasaan
bersalah membebani bantinku.
“Maafkan saya Pak. Saya tidak…”
“Tidak apa-apa. Hidup, mati siapa yang tahu,” ucapnya seperti bias menebak arah
pikiranku.
Aku mengangguk, “Iya. Bapak yang sabar ya.” Kataku
mencoba menenangkannya.
Poetra menghela nafas lega. Ia tersenyum. Ketegangan
yang tercipta sebelumnya diantara kami pun mencair. Dan dia mulai bercerita
dengan lancar. Aku menyimaknya dengan antusias.
****
Setelah menikah dengan Maya kami dikaruniai dua
orang putra, Arka dan Fitra. Sampai akhirnya bencana gunung Sinabung itu
merenggut semuanya, termasuk kebahagian yang telah dia semai bersama kedua
putranya. Dia masih ingat betul saat awan panas menyapa disiang hari. Saat
kedua putranya tengah sibuk bermain di depan rumah. Dihari yang naas itu, dia
sedang di ladang bersama Maya, istrinya. Kejadian itu membawa kedua putra yang
dia cintai terpisah jauh darinya.
****
Dia menunduk, memejamkan mata. Aku tertegun menyimak
ceritanya. Malam mulai turun dan desau angin pegunungan terasa mendekap tubuh.
Aku menghela nafas panjang. Sungguh berat cobaan yang dialami lelaki ini.
“Mari kita pulang ke barak Pak,” ajakku.
Ia tidak bergeming sedikitpun.
“Hidup kita harus berlanjut Pak. Tidak berhneti
sampai disini. Putus asa tidak akan menyelesaikan semuanya dan mengembalikan
apa yang telah hilang. Bapak harus merelakan kepergian Arka dan Fitra sebagai
takdir yang sudah digariskan Allah, Tuhan penguasa alam.” Tuturku tenang.
Dia mengangkat wajah dan memandangku. Matanya sperti
terluka, tapi aku melihat secercah cahaya harapan disana. Dia menghela nafas
panjang lalu mengangguk pelan. Aku mengelus pelan pundaknya lalu berjalan
bersamaan dengannya.
Samar-samar aku merasakan dekapan udara pegunungan
seperti menyampaikan pesan pilu, tentang kenangan yang telah hangus terbakar,
tentang mimpi-mimpi yang hilang.
Note: Tulisan ini telah dipublikasikan pada sayembara menulis.
0 komentar