Bab Terakhir untuk Fahry
Agustus 27, 2017
“Mengapa kau selalu menulis tentang dirinya?
Mengapa tidak ada satu hal pun mengenai diriku? Apakah selama hari ini tak
pernah ada kenangan seindah hari-harimu saat menanti dia? Kalau orang yang akan
dihukum mati biasa ditanyai apa permintaan terakhirnya, mungkin ini
kesempatanku. Untuk Aira, beberapa tulisan yang membuat sakit hati itu belum
hilang sampai sekarang. Dua bulan lebih yang kita lakukan untuk menggarap buku
ini, sampai sekarang ada di tulisan terakhir, tak kusangka secuilpun kau tak
ada bercerita tentang aku. Aku memang tak pernah memintanya secara langsung.
Aku yakin kau masih punya hati. Tapi tak apa. Harapan yang terlalu tinggi juga
akan menjatuhkanmu dari ketinggian yang lebih tinggi lagi. Namun sebagai
permintaanku yang terakhir, sebelum Kau menyerahkan bab terakhir milikmu. Aku
mohon buat satu tulisan tentangku. Sedikit saja. Aku bosan Ra, sebab aku selalu
menagis saat membaca tulisanmu yang berisikan tentang dia. Sedangkan aku selalu
menuliskan tentang dirimu.”
Tulisan
itu meggetarkan hatiku. Aku tak tahu apa yang ingin aku ungkpakan pada bab
terakhir dalam proyek menulis kami itu. Sejak awal aku sudah berkomitmen untuk
menuliskan tiap bab mengenai Arian, sosok pria yang sejak lama kucinati dalam
diam. Namun malam itu hatiku seperti menangis. Aku menyakiti hati Fahry, orang
yang selama ini begitu baik denganku. Bahkan mencintaiku. Itu yang kutemui
dalam tiap bab tulisannya. Namun tetap saja tulisan terakhir itu tak mengarah
pada dirinya. Permintaan yang dia buat pada bab terakhir miliknya sama sekali
tak kupenuhi. Aku hanya mengisahkan Arian, Arian dan Arian.
Dalam
hal ini aku memang sangat egois. Aku tak memikirkan hati yang lain demi hatiku.
Saat itu yang aku tahu hanya Arian. Dan aku hanya mau dia tahu tentang rasa
yang aku kemas rapi selama bertahun-tahun. Hanya itu alasanku mengapa pada tiap
bab milikku selalu mengisahkan Arian. Tapi aku menyakiti Fahry.
Berawal
dari penyerahan bab terakhirku pada Fahry. Aku lupa hari apa saat itu. sikap
Fahry mulai berubah. Dia yang selalu memperhatikanku berangsur-angsur pergi
menjauh. Sangat perlahan, namun pasti. Hingga saat ini dia masih jauh.
Kepergian Fahry dari tiap hariku sangat kurasakan. Bagaimana tidak? Orang yang
selama ini yang peduli, orang selama ini selalu khawatir setelah kedua
orangtuaku telah pergi. Dan itu adalah Fahry.
Aku
tak tahu pasti apakah kepergian Fahry meninggalkanku berawal dari bab terakhir
tulisanku. Atau dia hanya menjadikan semua itu alasan? Mungkin saja dia mulai bosan
dengan semua rasa yang dia miliki untukku. Mungkin saja dia telah kembali lagi pada
puannya, sebelum kehadiranku dalam hidupnya. Mungkin saja.
Namun
apa pun alasan dari kepergiannya aku tak ingin tahu lagi. Aku hanya ingin dia
kembali. Aku merindukan dia. Orang yang selalu ada untukku. Orang yang selalu
paham denganku. Mungkin jika aku minta dia kembali, dia takkan mungkin kembali.
Sebab aku telah menyakitinya hampir mati. Kini untuk berada dalam situasi sama
saja dia tak sudi. Lantas bagaimana mungkin aku minta dia kembali. Ini sesal
yang sejak lama harusnya aku sadari. Namun sayangnya aku tertidur hingga saat
ini. Dan saat aku terbangun dia sudah pergi, dan takkan mungkin kembali. Tapi
Fahry, sebelum semua yang kualami menjadi sesal yang abadi, aku ingin ucapkan
ini. Rindu teruntukmu.
Untukmu Fahry
Aku tak tahu harus memulai semua
darimana. Kau tahu aku tak suka bertele-tele. Satu hal Fahry, aku merindukanmu.
Sosok yang selama ini selalu menemaniku, mengerti aku, bahkan yang
mengkhawatirkanku setelah kedua orang tuaku. Tapi kini kau telah pergi. Oh ya,
kau benar Fahry tentang harapan itu. Harapan yang kau bilang jika terlalu
tinggi ia juga akan menjatuhkan aku dari ketinggian yang lebih tinggi lagi. Kini
harapan itu telah menjatuhkanku. Menghepaskanku ke dasar yang abadi. Hingga aku
mati.
Fahry… sesungguhnya masih banyak
yang ingin aku tuliskan. Namun rasanya tak mungkin. Biar saja aku simpan semua
sendiri. Sebab jika kuungkapkan pun semuanya telah basi. Sia-sia tak berarti.
Dan sebelum kuakhiri tulisan ini, aku ingin mengatakan ini bab terakhir dari
proyeksi tulisan itu. Ini Fahry. Tapi rasanya sudah terlambat. Ini semua
sia-sia. Dan kini aku hanya bisa merindukanmu. Mungkin kembali seperti yang kau
tahu, menanti. Pun itu kini hanya kamu.
Tidak Fahry, tidak. Kau tak perlu
berbalik menuju aku. Biar saja aku yang nikmati semua ini. Menanti dan merindu
seseorang hingga akhir hayat nanti. Menikmati rasa yang pernah kau rasakan
sebelumnya karenaku. Ini seperti hati yang terhujam belati. Untungnya kau masih
bertahan dan tak kenal kata mati. Hingga kau pergi dan tinggalkanku
sendiri.
Note: Tulisan ini telah dipublikasikan lewat sayembara menulis oleh penerbit.
0 komentar