Penulis Itu Gitaris
Juni 05, 2013
Assalamu'alaikum. Sudah lama tidak mengacak blog. Sebelumnya tulisan ini sudah di-post
diakun facebook Ika. Tapi nggak masalah ya. Masi setiakan? Oke let's go!
Selamat membaca hasil tulisan penulis amatir.
*****
Siang ini hujan mengguyur kota Medan . Aku yang tengah pergi dengan sahabatku harus ter-pending. Berkali-kali ku lihat jam tangan putih yang membelit ditanganku. Hujan tak kunjung redah. " aduh Zira pasti udah nunggu " omelku. Segera ku ambil ponselku didalam tas. " nomor yang anda tuju sedang tidak aktif " itu sahutan operator yang ku dengar dari sebrang telfon. Berkali-kali ku coba menghubungi Zira. Namun jawaban dari sebrang masih tetap sama. Akhirnya kuputuskan untuk mengirim pesan singkat padanya. Namun pesan itu pending.
" sinyal oh sinyal " ucapku.
Ku lihat keluar rumah, hujan mulai redah. Akupun mulai memantapkan diri untuk menerobos hujan siang ini. Ku starter motor silver berinisial s-X 125 D. Tanpa jas hujan aku melaju kencang menuju rumah Zira ditengah indahnya hujan.
*****
" Assalamu'alaikum. Assalamu'alaikum " ucapku.
" Waalaikumsalam " sahut wanita paruh baya dari dalam rumah.
" Ziranya ada bu? " tanyaku.
" Lah, piye toh nduk. Omonge Zira arek ketemu kara kuwe " jawab ibu Zira.
Aku yang mendengar jawaban dari beliau cuma bisa garuk-garuk kepala. Aku tak paham dengan bahasa Jawa. Sebab aku terlahir dari darah Mandailing, bukan Jawa seperti Zira.
" Kalau gitu Rasya pamit ya bu " ucapku. Aku melajukan motorku ke tempat favorit Zira. Perpustakaan daerah (pusda) adalah tempatnya menghabiskan waktu luang. Suasana yang senyap dan terhindar dari gangguan orang-orang aneh abad ini membuatnya semakin betah bertahan di perpustakaan.
Begitu sampai di perpustakaan aku langsung menuju meja tongkrongan Zira. Tepat disudut kanan ruangan meja itu tertata.
" Zi maaf ya aku telat " ucapku berbisik.
" Iya Sya. Tapi lain kali jangan telat ya " katanya.
" Aku telatkan karena hujan Zi. Lagian mana pernah aku telat seperti ini " jawabku membela diri.
" Yoweslah " ucapnya sembari menyodorkanku sebuah novel. Tanpa aba-aba ku raih novel itu. Tanpa melihat cover dan judul aku langsung melahap novel itu.
Ditengah keasyikanku membaca, diam-diam Zira memperhatikan sosok pria yang ada di sebrang meja kami. Dia terus memperhatikan pria itu.
" Maaf mbak, saya punya hutang ya sama mbak? " tanyanya yang kini berdiri tepat disampingku. Dengan spontan mataku melihatnya, sedangkan Zira menunduk melanjutkan bacaannya.
" Apa? " tanyaku heran.
" Teman mbak itu kenapa lihatin saya terus? Emang saya punya hutang? " jelasnya. Aku mengalihkan pandanganku ke Zira. Tak ada tanda-tanda seperti yang pria itu sebutkan. Zira masih asik dengan bacaannya.
" Mungkin abang salah kali. Mana mungkin teman saya lihatin abang. Dianya aja lagi baca buku " kataku.
" Terserah mbak mau percaya atau tidak " katanya sambil berlalu meninggalkan meja kami.
" Idih sombongnya " gerutuku.
Tiba-tiba saja Zira angkat bicara.
" Aku yang salah Sya. Aku memang memperhatikannya tadi. Makasih udah belain aku didepan dia " papar Zira. Aku yang mendengar penjelasannya hanya menghela nafas dan kembali melanjutkan bacaanku.
" Sya aku suka sama dia " kata Zira. Aku memberhentikan bacaanku.
" Suka sama dia? Gimana bisa? Emang Zi kenal dia? " tanyaku bertubi.
" Setahu aku sih dia itu juga member di perpustakaan ini. Aku sering lihat dia ada disini " kata Zira.
" Aneh " ucapku sambil pergi keluar. Zira mengikuti langkahku dari belakang.
" Sya dia itu unik beda dari pria-pria yang lain " kata Zira lagi.
" Unik? Dari segimana Zi? " kataku.
" Dia suka keperpustakaan, sama sepertiku. Dia suka baca, sama juga. Cuma seribu satu yang sepertinya Sya " jelas Zira.
" Terserah Zi " ketusku.
Ku starter motorku dan pergi meninggalkan area perpustakaan. Zira menyusulku dengan motornya. Kini kami berhenti tepat didepan sebuah cafe baru. Aku dan Zira memarkirkan motor kami dan langsung masuk ke cafe itu.
" Pesan apa mbak? " tanya seorang pelayan pada kami.
" Jus jeruk " ucapku.
" sama mbak " sambar Zira. Sambil menunggu pesanan datang aku mengamati band yang tengah manggung di cafe itu. Mataku tertuju pada pemain gitar yang biasa. Ku amati gitaris itu terus-menerus.
" Silahkan mbak " ucap pelayan menghamburkan pandanganku.
" Makasih " ucap Zira. Dan aku hanya tersenyum kecil.
Kualihkan kembali pandanganku kearah panggung. Namun sayang gitaris itu tak tampak lagi. Ku cari-cari dirinya disekitar cafe. Tapi tak juga ada.
Selamat membaca hasil tulisan penulis amatir.
*****
Siang ini hujan mengguyur kota Medan . Aku yang tengah pergi dengan sahabatku harus ter-pending. Berkali-kali ku lihat jam tangan putih yang membelit ditanganku. Hujan tak kunjung redah. " aduh Zira pasti udah nunggu " omelku. Segera ku ambil ponselku didalam tas. " nomor yang anda tuju sedang tidak aktif " itu sahutan operator yang ku dengar dari sebrang telfon. Berkali-kali ku coba menghubungi Zira. Namun jawaban dari sebrang masih tetap sama. Akhirnya kuputuskan untuk mengirim pesan singkat padanya. Namun pesan itu pending.
" sinyal oh sinyal " ucapku.
Ku lihat keluar rumah, hujan mulai redah. Akupun mulai memantapkan diri untuk menerobos hujan siang ini. Ku starter motor silver berinisial s-X 125 D. Tanpa jas hujan aku melaju kencang menuju rumah Zira ditengah indahnya hujan.
*****
" Assalamu'alaikum. Assalamu'alaikum " ucapku.
" Waalaikumsalam " sahut wanita paruh baya dari dalam rumah.
" Ziranya ada bu? " tanyaku.
" Lah, piye toh nduk. Omonge Zira arek ketemu kara kuwe " jawab ibu Zira.
Aku yang mendengar jawaban dari beliau cuma bisa garuk-garuk kepala. Aku tak paham dengan bahasa Jawa. Sebab aku terlahir dari darah Mandailing, bukan Jawa seperti Zira.
" Kalau gitu Rasya pamit ya bu " ucapku. Aku melajukan motorku ke tempat favorit Zira. Perpustakaan daerah (pusda) adalah tempatnya menghabiskan waktu luang. Suasana yang senyap dan terhindar dari gangguan orang-orang aneh abad ini membuatnya semakin betah bertahan di perpustakaan.
Begitu sampai di perpustakaan aku langsung menuju meja tongkrongan Zira. Tepat disudut kanan ruangan meja itu tertata.
" Zi maaf ya aku telat " ucapku berbisik.
" Iya Sya. Tapi lain kali jangan telat ya " katanya.
" Aku telatkan karena hujan Zi. Lagian mana pernah aku telat seperti ini " jawabku membela diri.
" Yoweslah " ucapnya sembari menyodorkanku sebuah novel. Tanpa aba-aba ku raih novel itu. Tanpa melihat cover dan judul aku langsung melahap novel itu.
Ditengah keasyikanku membaca, diam-diam Zira memperhatikan sosok pria yang ada di sebrang meja kami. Dia terus memperhatikan pria itu.
" Maaf mbak, saya punya hutang ya sama mbak? " tanyanya yang kini berdiri tepat disampingku. Dengan spontan mataku melihatnya, sedangkan Zira menunduk melanjutkan bacaannya.
" Apa? " tanyaku heran.
" Teman mbak itu kenapa lihatin saya terus? Emang saya punya hutang? " jelasnya. Aku mengalihkan pandanganku ke Zira. Tak ada tanda-tanda seperti yang pria itu sebutkan. Zira masih asik dengan bacaannya.
" Mungkin abang salah kali. Mana mungkin teman saya lihatin abang. Dianya aja lagi baca buku " kataku.
" Terserah mbak mau percaya atau tidak " katanya sambil berlalu meninggalkan meja kami.
" Idih sombongnya " gerutuku.
Tiba-tiba saja Zira angkat bicara.
" Aku yang salah Sya. Aku memang memperhatikannya tadi. Makasih udah belain aku didepan dia " papar Zira. Aku yang mendengar penjelasannya hanya menghela nafas dan kembali melanjutkan bacaanku.
" Sya aku suka sama dia " kata Zira. Aku memberhentikan bacaanku.
" Suka sama dia? Gimana bisa? Emang Zi kenal dia? " tanyaku bertubi.
" Setahu aku sih dia itu juga member di perpustakaan ini. Aku sering lihat dia ada disini " kata Zira.
" Aneh " ucapku sambil pergi keluar. Zira mengikuti langkahku dari belakang.
" Sya dia itu unik beda dari pria-pria yang lain " kata Zira lagi.
" Unik? Dari segimana Zi? " kataku.
" Dia suka keperpustakaan, sama sepertiku. Dia suka baca, sama juga. Cuma seribu satu yang sepertinya Sya " jelas Zira.
" Terserah Zi " ketusku.
Ku starter motorku dan pergi meninggalkan area perpustakaan. Zira menyusulku dengan motornya. Kini kami berhenti tepat didepan sebuah cafe baru. Aku dan Zira memarkirkan motor kami dan langsung masuk ke cafe itu.
" Pesan apa mbak? " tanya seorang pelayan pada kami.
" Jus jeruk " ucapku.
" sama mbak " sambar Zira. Sambil menunggu pesanan datang aku mengamati band yang tengah manggung di cafe itu. Mataku tertuju pada pemain gitar yang biasa. Ku amati gitaris itu terus-menerus.
" Silahkan mbak " ucap pelayan menghamburkan pandanganku.
" Makasih " ucap Zira. Dan aku hanya tersenyum kecil.
Kualihkan kembali pandanganku kearah panggung. Namun sayang gitaris itu tak tampak lagi. Ku cari-cari dirinya disekitar cafe. Tapi tak juga ada.
" Ehem.. Bole duduk? " tanya seorang pria pada kami.
" Silahkan " kataku. Pria itupun duduk didepan Zira.
" Adi " ucapnya sambil mengulurkan tangan.
" Rasya " kataku membalas jabat tangannya. Disusul juga dengan Zira.
Zira dan Adi bercengkrama. Sedangkan aku masih mengamati sekitar untuk mencari sang gitaris.
" Cari apa Sya? " tanya Zira memecah fokus penglihatanku.
" Ha.. Ng..nggak cari siapa-siapa kok Zi " jawabku sedikit kaget.
Akupun mengurungkan niatku untuk mencari sang gitaris itu lagi.
*****
Ditengah sendagurau aku, Zira dan Adi segerombolan pria datang menghampiri. Mataku terbelalak saat melihat sang gitaris ada diantara mereka.
" Disini rupanya kau boi " kata salah satu dari mereka pada Adi.
" Iya bro. Sorry banget " kata Adi.
Suasana hening sejenak.
" Duduklah kalian bro " pinta Adi.
" Kenalin ini Zira dan ini Rasya " kata Adi memperkenalkan.
" Ini Arka gitaris kami, yang itu Dikta vokalis kami, yang baju putih itu Reza dia gitaris kalau aku drummer " jelas Adi panjang lebar.
Kami menghabiskan malam dengan canda tawa.
*****
" Kami pulang luan ya " kataku pada Adi dan kawan-kawan.
" Bareng aja gimana? " tawar Reza.
" Emang satu arah Za? " tanyak Zira.
" Aku sama Dikta sih ke arah gatot subroto " jawab Reza.
" Sama dong kita " ucap Zira.
" Pulang barenglah yok! " ajak Dikta.
" Tapi Rasya gimana? " tanya Zira bingung.
" Biar aku yang temani Rasya " sahut Arka.
" Hm.. Nggak usah Ar, entar ngerepoti kamu " sangkal ku.
" Nggak Sya. Lagian udah malam loh. Kalau ada apa-pa dijalan gimana? " ucap Arka.
" Makasih sebelumnya Ar " kataku dengan senyum.
*****
" Makasih lo Ar udah ngawani pulang. Aman sih ada bodyguard gini " ucapku dengan tawa.
" Nggak masalah Sya kalau kamu mau aku jadi bodyguard kamu, aku siap " ucapnya tegas.
" Becanda loh Ar. Singgah dulu Ar " tawarku mengalihkan pembicaraan.
" Lain kali aja Sya. Night-bye. Assalamu'alaikum " katanya berlalu meninggalkan aku.
" Waalaikumsalam " jawabku.
*****
" Senangnya bisa pulang bareng Arka. Meski beda motor tapi aku senang banget hari ini. Arka... " ucapku sambil menyusuri anak tangga menuju kamarku. Akupun merebahkan badanku ditempat tidur. Kubayangkan sedikit awal pertemuan singkat kami malam ini.
" Sepertinya aku pernah jumpa Arka sebelumnya. Tapi dimana ya? " tanya batinku. Ku ingat lagi wajah Arka. Rasanya wajah itu tak asing lagi buatku.
" Oh my God. Arka itu pria yang di perpustakaan " gumamku.
" Tapi pria yang di perpustakaan itu-kan kutu buku. Beda banget sama Arka. Masa iya itu Arka " kataku lagi.
" Ah entahlah " teriakku. Akupun mulai memanjakan mataku.
*****
Suara wak Sumi dari balik pintu berhasil mengganggu tidurku. Mau tidak mau aku harus bangkit dari singgasanaku.
" Kenapa wak? Mau nyapu kamar ya? " tanyaku sambil mengikat rambutku. Wak Sumi adalah sosok yang berjasa dikeluargaku. Dia rela meluangkan sedikit waktunya untuk membersihkan rumahku. Mulia sekali hatinya. Mungkin ini juga karena tuntutan ekonomi yang kian lama semakin kejam. Itulah perjuangan yang wak Sumi lakukan demi sesuap nasi.
" Nggak ndok. Itu ada temanmu di bawah " kata wak Sumi.
" Iya wak, makasi " ucapku membenahi rambut.
Akupun keluar dari kamar dan mulai menyusuri anak tangga. Ku dapati seorang wanita tengah duduk disofa.
" Zira " ucapku.
Zira mengernyitkan sedikit senyumnya. " Ikh, anak cewe jam segini belum mandi " kata Zira.
" Baru bangun Zi. Lagian nggak biasanya kamu datang pagi-pagi ke rumahku? " tanyaku.
" Perpus yuk! " ajaknya.
" Tapi aku mau... ". Belum aku selesai bicara Zira langsung menuntunku kembali ke kamar untuk mandi.
*****
" Zi jadi nggak? ". Kamu malah nonton Tv " gerutuku.
" Iya Sya bentar. Ini ada tayangan istimewa " kata Zira yang masih asik melihat Tv.
" Istimewa apanya Zi? Cepat deh Zi " kataku.
" Ok Sya bawel " ucap Zira menghampiriku.
Akhirnya sampailah kami ditujuan awal. Seperti biasanya, tempat tongkrongan dengan meja yang tertata disudut ruangan menjadi saksi atas kesenangan Zira ke perpustakaan.
Ditengah keasyikan Zira membaca buku, aku mengambil gambarnya dengan kamera SLR bermerkkan Nikon yang dihadiahkan Ayah untukku.
" Sya, apaan sih " ucapnya sembari menutup muka.
" Keren juga perpustakaan jadi objek kali ini Zi. Apa lagi kamu modelnya " kataku ngeledek.
Tiba-tiba saja terlintas Arka dalam benakku. Arka yang ku duga sosok pria yang ku jumpa di perpustakaan juga.
" Zi, aku ke depan bentar ya " kataku.
" Ya, jangan lama-lama " ucapnya seraya melihatku.
Akupun langsung menuju receptionis untuk mencari informasi.
" Mbak Re, mbak tahu nggak pria yang sering nongkrong disebelah sana? " tanyaku sambil menunjuk meja tempat pria itu biasanya.
" Kenal Sya. Kenapa? " tanya mbak Rere.
" Namanya siapa ya mbak? Dia hari ini kenapa nggak datang? " tanyaku penasaran.
" Namanya Dika. Dia emang nggak pernah datang kalau hari Jum'at Sya " jelas mbak Rere.
" Dika? Mbak yakin? " tanyaku lagi.
" Iya Sya. Setahu mbak nih ya, Dika itu hobi nulis. Mungkin sih dia penulis. Tapi mbak juga nggak tahu " papar mbak Rere.
" Makasih ya mbak " ucapku seraya meninggalkan meja mbak Rere dan menuju Zira.
" Zi balik yuk! " ajakku.
" Kenapa Sya? " tanya Zira.
" Nggak mood nih. Ayo balik " rengekku sambil menarik tangan Zira.
" Anak-anak banget sih Sya, nggak biasanya. Tapi Aku ikut ke rumah mu ya " katanya. Aku hanya mengangguk tanda setuju.
*****
" Sya, kamu ada dihubungi Reza nggak? " tanya Zira.
" Nggak ada Zi. Kenapa? Kamu dihubung Reza ya? Ciye " ledekku.
" Apaan sih Sya. Nggak ada apa-apa loh antara kami " kata Zira.
" Lah, yang bilang kalian ada apa-pa siapa Zi? Hayo, ketahuan deh " jawabku.
" Nggak tahu deh " balas Zira dengan muka cemberut.
" Zi makin cemberut makin cantik. Reza makin jatuh cinta " godaku sambil keluar dari kamar. Spontan Zira melempar bantal mendengar perkataanku itu.
*****
" Arka.. Dika.., nama yang berbeda. Tapi wajahnya sama. Ada yang nggak beres " gumamku.
Akupun kembali lagi ke kamar. Kulihat wajah Zira tersenyum sumringah.
" Ciye.. Rasya ya gitu dia sekarang. Nggak mau cerita-cerita lagi " ucap Zira yang tengah memegang Hp-ku.
" Cerita apa Zi? " tanyaku heran.
" Arka " jawab Zira spontan.
" Kenapa sama Arka? " tanyaku lagi.
" Tadi dia itu nelfon kamu. Terus aku angkat deh telfonnya. Dia ngajak kamu jalan-jalan " ucap Zira dengan senyum lebar.
" Arka nelfon? Tahu nomorku dari mana itu anak " kataku.
" Sorry Sya. Tadi malam Reza minta nomor kamu. Jadi Zi kasih deh. Zi tanyak untuk apa dia nggak jawab " katanya dengan muka memelas.
" Zi.. Kamu ya. Terus tadi kamu jawab apa? " kataku.
" Zi jawab Sya mau jalan sama Arka " ucap Zira.
" Kalau gitu Zi yang pergi jalan sama dia. Rasya nggak mau " kataku berpaling dari Zira.
" Sya jangan gitulah. Kasiankan Arka kalau ntar nggak jumpa kamu. Dia suka sama kamu tuh " kata Zi merayu.
" Apaan sih Zi. Nggak mau tahu, Zi yang harus pergi jalan sama Arka " bantahku.
" Tapi nanti Arka jemput ke sini. Masa Zi yang keluar Sya. Nggak enak dong " elak Zira.
" Yaudah. Sya mau jalan sama dia. Tapi ini karena ulah Zi " kataku.
" Gitu dong sayang " ucap Zira sambil mencolek daguku.
Tak berapa lama kami adu argumen, wak Sumi mengetuk pintu kamar.
" Masuk " kataku.
" Ndok didepan ada orang yang cari kamu " kata wak Sumi.
" Siapa wak? " tanyaku.
" Nggak kenal ndok. Lebih baik ndok temui aja dulu " kata wak Sumi memberi saran.
" Yaudah wak, sebentar lagi Sya turun. Orangnya suruh masuk aja " kataku.
" Enje ndok " sahut wak Sumi seraya meninggalkan kamarku.
Dengan penasaran aku mulai menuruni anak tangga. Ku lihat seorang lelaki dengan jaket kulitnya tengah duduk di sofa.
" Ehem. Cari siapa ya mas? " ucapku.
Lelaki itu berbalik badan dan memberikan senyum termanisnya.
" Arka " kataku.
" Hey Sya " ucap Arka.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
" Ada apa Ar kamu kemari? " tanyaku takut-takut.
" Kamu lupa Sya? Ditelfon tadi kamu bilang mau jalan " jawab Arka mencoba mengingatkan aku.
" Oh iya. Maaf Ar lupa. Berangkat sekarang nih? " kataku.
" Terserah kamu Sya " jawabnya ringan.
Detak jantungku berdenyut tak beraturan. Rasanya jantung ini telah hilang kendali saat ada didekat Arka.
" Kamu mau minum apa? " tawarku.
" Nggak usah Sya, makasih. Kita langsung jalan aja yuk " kata Arka.
" Tapi Sya belum ganti baju Ar " ucapku.
" Udah nggak masalah Sya. Kamu seperi ini juga kelihatan manis " katanya yang kini berdiri tepat didepanku. Mataku menatap matanya dalam. Arka juga membalas tatapan mataku. Detak jantung semakin tak karuan. Ditariknya tanganku untuk pergi.
*****
" Sudah sampai. Ayo turun Sya! " kata Arka. Aku hanya diam.
" Sya.. Ayo turun. Mau sampai kapan kamu duduk diatas motor " ucapnya. Aku masih tetap diam. Arka menghampiriku. Dia berdiri tepat didepanku.
" Sya kamu baik-baik ajakan? " tanya Arka. Aku hanya mengangguk. Arka memegang tanganku.
" Jantung Sya mau copot " kataku pelan.
" Kenapa? Karena kamu dekat akukan " kata Arka merayu.
" Apaan sih " kataku memukul pelan lengannya. " Sya hampir mati gara-gara Arka bawa motornya dengan kecepatan tinggi " kataku. Arka menertawaiku.
" Jadi dari tadi kamu takut? " tanya Arka menahan tawa.
" Udah jangan dibahas " kataku pergi meninggalkan Arka.
" Ini dimana? Kenapa Sya nggak pernah tahu tempat ini " kataku.
" Indahkan? " tanya Arka.
" Ya " ucapku singkat. Aku tak ingin banyak bicara. Yang aku mau hanya menikmati tempat yang indah ini. Tiba-tiba saja aku berniat untuk menanyakan tentang kehidupannya.
" Ar " ucapku pelan. Arka tak bersuara dia hanya melihat ke arahku.
" Aku boleh nanya ke kamu nggak? " kataku ragu-ragu.
" Boleh. Mau tanya apa Sya? " kata Arka.
" Selain main gitar kamu punya hobi lain? " tanyaku.
" Punya " jawabnya.
" Apa? " kataku.
" Traveling, makan, main futsal, juga nul.. Itu aja Sya " kata Arka.
" Hmm.. " kataku sambil mengangguk-angguk. " Tapi kenapa Arka tidak melanjutkan lanjutan pembicaraannya tadi " fikirku.
" Tempat tongkrongan favorite kamu? " tanyaku lagi.
" Rumah Dikta, di bukit ini dan... itu aja Sya " ucapnya.
" Kamu nggak suka ke perpus? Atau tempat membaca gitu? " tanyaku lagi.
" Enggak " jawab Arka singkat. " Kenapa kamu tanya gitu Sya? " selidiknya.
" Nggak kenapa-kenapa Ar. Kalau kamu suka ke perpus atau tempat baca lainnya bisa bareng sama Sya dan Zira " jelasku.
" Kamu suka baca? Baca apa? " tanya Arka antusias.
" Iya. Lebih sering baca novel Ar " jawabku.
" Wow, novel. Novel apa aja Sya? Pernah baca novel Dika Syahputra nggak? Kerab dikenal dengan Dika " kata Arka.
Aku terdiam mendengar nama yang disebut Arka. Sepertinya nama itu pernah ku dengar. Aku ingat. Nama itu, nama pria yang diperpus. Nama yang diberi tahu oleh mbak Rere. Mbak Rere juga bilang kalau dia hobi nulis. " Apa pria itu yang dimaksud Arka? " fikirku.
" Dika itu penulis baru ya? " tanyaku menyelidiki.
" Nggak. Dia udah lumayan lama berkecimpung didunia kepenulisan " jawab Arka.
" Dari mana kamu tahu? Kamukan nggak suka baca " kataku.
" Iya aku emang nggak suka baca Sya. Aku tahu Dika si penulis itu dari Reza. Kebetulan dia hobi banget sama baca " jawabnya.
" Ada yang nggak beres " celetukku dalam hati. Aku yakin ada yang disembunyikan Arka. Tapi apa? "Aku haru bisa cari tahu semuanya " ucapku dalam hati.
*****
" Sya " panggil Arka lembut. Aku menoleh ke arahnya. Perlahan Arka memandangiku, semakin lama pandangannya semakin dalam. Arka memegang tanganku lembut.
" Aku suka sama kamu Sya saat awal kita jumpa di cafe " kata Arka. Aku terdiam mendengar pernyataan dari Arka.
" Kamu mau jadi pacar aku nggak Sya? " tanyanya.
Jujur aku bingung untuk menjawab pertanyaan dari Arka. Tapi dengan mudahnya bibirku mengatakan " ya ". Hari itu aku resmi berpacaran dengannya. Ini hari yang spesial untuk kami.
*****
" Sayang balik yuk! " ajak Arka setelah menerima telfon yang aku tak tahu dari siapa.
" Tapi..". Belum aku menyelesaikan pembicaraan Arka menarik tanganku untuk kembali pulang. Dengan terpaksa aku mengikutinya.
Diperjalanan tiba-tiba saja Arka mengerem motornya mendadak. Aku tersontak kaget.
" Sya sorry aku nggak bisa antar kamu sampai ke rumah " kata Arka.
" Kenapa? Kamu mau kemana? " Tanyaku heran.
" Maaf sayang aku tinggal ya " katanya sambil berlalu pergi.
" huft " helaku kecewa.
Aku langsung menyetop ojek yang lewat. Kuminta abang ojek itu mengikuti motor Arka. Arka membelok masuk ke parkiran Gramedia Gajah mada. Ku suruh abang ojek untuk berhenti dipinggir jalan. Ku lihat Arka memakai wig atau yang dikenal rambut palsu. Bukan hanya wig yang Arka pakai, tapi dia juga memakai kacamata dan menambahkan sedikit tahilalat dipipi kirinya. Setelah itu baru Arka masuk ke dalam Gramedia.
Aku yang melihat tingkahnya semakin curiga. Ku ikuti Arka dari belakang.
" Jangan-jangan Arka itu Dika? Arka pasti berbohong padaku dan Zira " fikirku. Terusku ikuti Arka sampai tempat dia berhenti.
Arka melewati kerumunan banyak orang. Ku dengar sebagian orang menyebut nama Dika.
" Dika " ucapku kaget.
" Maaf ini ada apa kak? " tanyaku pada salah seorang.
" Ada peluncuran novel terbaru Dika. Jadi buat 50 orang terdepan bisa dapat tandatangan dan foto bareng " jawab orang itu.
" Makasi kak " kataku. Orang itu tak menghiraukan ucapanku lagi.
Aku mengikuti antrean sama seperti orang lainnya.
" Maaf sudah 50 orang mbak " kata seorang pria bertubuh kekar.
" Tapi saya mau jumpa Dika pak. Sebentar aja " jawabku.
" Nggak bisa mbak. Sudah habis antreannya. Kalau mbak mau lain waktu saja " kata pria itu.
" Tapi pak.. ". Belum lagi aku menyelesaikan perkataanku pria itu telah menjauhkanku dari meja Dika alias Arka. Siapapun dia yang jelas satu orang, namun dua nama.
" Arka.. " panggilku. Arka menoleh kaget kearahku. Dia mendekatiku dan menyuruh pria berbadan kekar itu meninggalkan kami. Sekarang tak banyak lagi orang-orang di dalam gramedia.
" Jahat! " ucapku singkat sambil berlalu meninggalkannya.
" Sya aku bisa jelasin semua " katanya mencoba menahanku.
" Kamu mau jelasin kalau kamu itu Dika penulis yang tenar. Dan kamu itu juga Arka gitaris dari band ternama " kataku dengan suara bergetar. Mataku mulai berkaca-kaca. Rasanya aku tak percaya kalau Arka tega membohongi aku.
" Sya dengarin aku dulu. Sya please " kata Arka disampingku.
" Kamu berhasil menipu semua orang Ar. Bukan cuma aku yang kamu bohongi, tapi mereka penggemar kamu juga. Bahkan kamu juga bohongi diri kamu sendiri Ar " kataku berlalu pergi. Aku menyetop taxi yang lewat. Arka mengejarku dengan motornya.
*****
" Sya..Sya " kata Arka dari luar pagar rumahku. Aku tak memperdulikannya. Aku langsung menuju kamarku. Ku rebahkan tubuhku dan kutenangkan fikiranku. Buliran air mata itu masih menyentuh lembut pipiku.
" Sya kamu kenapa? " tanya Zira yang sedari tadi masih dirumahku. Aku tak bergeming.
" Sya dibuat ada Arka tuh. Kamu nggak mau temui dia? " ucapnya yang melihat Arka dari jendela kamarku. " Enggak Zi. Sya nggak mau kenal sama penipu itu lagi " kataku.
" Penipu? Makasudnya? " tanya Zira kaget.
" Zi, kita udah dibohongi sama Arka. Dia itu pria yang ada di perpustakaan. Pria yang Zi suka " jelasku.
" Arka pria berkacamata yang Zi suka. Nggak mungkin Sya " ucap Zira tak percaya.
" Iya Zi. Maaf Sya udah khianati Zi. Tapi Sya nggak ada hubungan apa-apa lagi sama dia " kataku melihat raut wajah Zira.
" Sya udah jadian sama dia? " tanyanya.
" Tadinya sih iya Zi. Tapi begitu Sya tahu Arka itu pria perpus yang Zi suka Sya langsung putusin dia " jawabku penuh sesal. Ku lihat wajah Zira memerah. Matanya mulai berkaca-kaca. Kupeluk Zira dengan penuh rasa bersalah.
" Maaf Zi, maaf " kataku dalam pelukan. Kurasakan butiran air matanya menetes diatas pundakku.
" Nggak salah Sya juga. Semua ini hanya salah paham Sya " kata Zira sembari menghapus air mataku. Kami tersenyum.
" Kita harus temui Arka " kata Zira.
" Apa? Mau ngapain lagi Zi? " tanyaku kaget.
" Kita harus minta penjelasan dari Arka Sya " ucapnya dengan senyum.
" Tapi Zi.. ".
" Udah Sya, nggak baik marahan sama orang lama-lama. Lagian Arka begitu pasti ada alasan kuat " jelas Zira mendekatiku. Aku hanya tersenyum melihat Zira.
" Ayo turun! Kita temui Arka sekarang " ucap Zira menarik tanganku. Ku ikuti langkah Zira dari belakang.
*****
" Ar, ayo masuk! " ucap Zira yang mengagetkan Arka. Arka mengikuti Zira dibelakang.
" Duduk Ar " kata Zira mempersilahkan. Sedangkan aku sudah duduk disana terlebih dahulu.
" Aku minta maaf Sya. Aku nggak maksud buat bohongi kamu " kata Arka mulai angkat bicara.
" Jadi apa maksud kamu? Kenapa nggak cerita dari awal kalau kamu itu pria yang ada di perpustakaan? " tanyaku sedikit kesal.
" Dari awal aku mau cerita semuanya Sya. Tapi karena aku tahu Zira suka sama sosok Dika yang ada padaku terpaksa aku memutuskan untuk menyembunyikan semuanya Sya " jelas Arka.
" Apa salah Zira suka sama kamu Ar? " kataku dengan nada tinggi.
" Sya tenanglah " bujuk Zira.
" Nggak salah Sya kalau Zira suka sama aku yang bersosok Dika. Tapi dari awal aku ketemu kamu di perpus aku udah suka sama kamu. Dan kebetulan pula kita ketemu di cafe bareng teman-teman aku. Jadi aku rasa itu jalan terbaik Sya. Tapi aku sayang sama kamu Sya " papar Arka.
" Jalan terbaik? Apa kamu nggak pernah fikir Ar kalau kamu itu nyakiti Zira dan juga aku " kataku dengan nada bergetar.
" Iya Sya aku ngaku salah. Zi maaf ya. Bukan bermaksud nyakiti hati kamu. Tapi aku sukanya sama teman kamu, Rasya " ucap Arka pada Zira.
" It's ok Ar. Lagian aku udah move on juga " ucap Zira penuh senyum.
" Move on? " ucapku dan Arka bersamaan.
" Iya. Aku udah tahu kalau Arka itu Dika. Dan sekarang aku udah punya Reza pengganti Dika " jelas Zira.
" Jadi Zi udah tahu luan kalau Arka itu Dika " ucapku kaget.
" Sorry Sya " kata Zira mengerutkan dahi. " Maafin Arka dong Sya kasihan dia " ucap Zira melihat Arka. Aku hanya menganggukan kepalaku, yang berisyarat kalau aku telah memaafkan Arka. Arka tersenyum lebar.
" Makasih Sya. Makasih banyak sayang " ucapnya menatapku. Aku hanya membalas dengan senyum.
" Kita masih pacarankan? " tanya Arka canggung.
" Yaiyalah " sambar Zira.
Kami bertiga saling melihat satu sama lain. Dan tertawa lepas melihat tingkah Zira yang konyol.
The End..
" Silahkan " kataku. Pria itupun duduk didepan Zira.
" Adi " ucapnya sambil mengulurkan tangan.
" Rasya " kataku membalas jabat tangannya. Disusul juga dengan Zira.
Zira dan Adi bercengkrama. Sedangkan aku masih mengamati sekitar untuk mencari sang gitaris.
" Cari apa Sya? " tanya Zira memecah fokus penglihatanku.
" Ha.. Ng..nggak cari siapa-siapa kok Zi " jawabku sedikit kaget.
Akupun mengurungkan niatku untuk mencari sang gitaris itu lagi.
*****
Ditengah sendagurau aku, Zira dan Adi segerombolan pria datang menghampiri. Mataku terbelalak saat melihat sang gitaris ada diantara mereka.
" Disini rupanya kau boi " kata salah satu dari mereka pada Adi.
" Iya bro. Sorry banget " kata Adi.
Suasana hening sejenak.
" Duduklah kalian bro " pinta Adi.
" Kenalin ini Zira dan ini Rasya " kata Adi memperkenalkan.
" Ini Arka gitaris kami, yang itu Dikta vokalis kami, yang baju putih itu Reza dia gitaris kalau aku drummer " jelas Adi panjang lebar.
Kami menghabiskan malam dengan canda tawa.
*****
" Kami pulang luan ya " kataku pada Adi dan kawan-kawan.
" Bareng aja gimana? " tawar Reza.
" Emang satu arah Za? " tanyak Zira.
" Aku sama Dikta sih ke arah gatot subroto " jawab Reza.
" Sama dong kita " ucap Zira.
" Pulang barenglah yok! " ajak Dikta.
" Tapi Rasya gimana? " tanya Zira bingung.
" Biar aku yang temani Rasya " sahut Arka.
" Hm.. Nggak usah Ar, entar ngerepoti kamu " sangkal ku.
" Nggak Sya. Lagian udah malam loh. Kalau ada apa-pa dijalan gimana? " ucap Arka.
" Makasih sebelumnya Ar " kataku dengan senyum.
*****
" Makasih lo Ar udah ngawani pulang. Aman sih ada bodyguard gini " ucapku dengan tawa.
" Nggak masalah Sya kalau kamu mau aku jadi bodyguard kamu, aku siap " ucapnya tegas.
" Becanda loh Ar. Singgah dulu Ar " tawarku mengalihkan pembicaraan.
" Lain kali aja Sya. Night-bye. Assalamu'alaikum " katanya berlalu meninggalkan aku.
" Waalaikumsalam " jawabku.
*****
" Senangnya bisa pulang bareng Arka. Meski beda motor tapi aku senang banget hari ini. Arka... " ucapku sambil menyusuri anak tangga menuju kamarku. Akupun merebahkan badanku ditempat tidur. Kubayangkan sedikit awal pertemuan singkat kami malam ini.
" Sepertinya aku pernah jumpa Arka sebelumnya. Tapi dimana ya? " tanya batinku. Ku ingat lagi wajah Arka. Rasanya wajah itu tak asing lagi buatku.
" Oh my God. Arka itu pria yang di perpustakaan " gumamku.
" Tapi pria yang di perpustakaan itu-kan kutu buku. Beda banget sama Arka. Masa iya itu Arka " kataku lagi.
" Ah entahlah " teriakku. Akupun mulai memanjakan mataku.
*****
Suara wak Sumi dari balik pintu berhasil mengganggu tidurku. Mau tidak mau aku harus bangkit dari singgasanaku.
" Kenapa wak? Mau nyapu kamar ya? " tanyaku sambil mengikat rambutku. Wak Sumi adalah sosok yang berjasa dikeluargaku. Dia rela meluangkan sedikit waktunya untuk membersihkan rumahku. Mulia sekali hatinya. Mungkin ini juga karena tuntutan ekonomi yang kian lama semakin kejam. Itulah perjuangan yang wak Sumi lakukan demi sesuap nasi.
" Nggak ndok. Itu ada temanmu di bawah " kata wak Sumi.
" Iya wak, makasi " ucapku membenahi rambut.
Akupun keluar dari kamar dan mulai menyusuri anak tangga. Ku dapati seorang wanita tengah duduk disofa.
" Zira " ucapku.
Zira mengernyitkan sedikit senyumnya. " Ikh, anak cewe jam segini belum mandi " kata Zira.
" Baru bangun Zi. Lagian nggak biasanya kamu datang pagi-pagi ke rumahku? " tanyaku.
" Perpus yuk! " ajaknya.
" Tapi aku mau... ". Belum aku selesai bicara Zira langsung menuntunku kembali ke kamar untuk mandi.
*****
" Zi jadi nggak? ". Kamu malah nonton Tv " gerutuku.
" Iya Sya bentar. Ini ada tayangan istimewa " kata Zira yang masih asik melihat Tv.
" Istimewa apanya Zi? Cepat deh Zi " kataku.
" Ok Sya bawel " ucap Zira menghampiriku.
Akhirnya sampailah kami ditujuan awal. Seperti biasanya, tempat tongkrongan dengan meja yang tertata disudut ruangan menjadi saksi atas kesenangan Zira ke perpustakaan.
Ditengah keasyikan Zira membaca buku, aku mengambil gambarnya dengan kamera SLR bermerkkan Nikon yang dihadiahkan Ayah untukku.
" Sya, apaan sih " ucapnya sembari menutup muka.
" Keren juga perpustakaan jadi objek kali ini Zi. Apa lagi kamu modelnya " kataku ngeledek.
Tiba-tiba saja terlintas Arka dalam benakku. Arka yang ku duga sosok pria yang ku jumpa di perpustakaan juga.
" Zi, aku ke depan bentar ya " kataku.
" Ya, jangan lama-lama " ucapnya seraya melihatku.
Akupun langsung menuju receptionis untuk mencari informasi.
" Mbak Re, mbak tahu nggak pria yang sering nongkrong disebelah sana? " tanyaku sambil menunjuk meja tempat pria itu biasanya.
" Kenal Sya. Kenapa? " tanya mbak Rere.
" Namanya siapa ya mbak? Dia hari ini kenapa nggak datang? " tanyaku penasaran.
" Namanya Dika. Dia emang nggak pernah datang kalau hari Jum'at Sya " jelas mbak Rere.
" Dika? Mbak yakin? " tanyaku lagi.
" Iya Sya. Setahu mbak nih ya, Dika itu hobi nulis. Mungkin sih dia penulis. Tapi mbak juga nggak tahu " papar mbak Rere.
" Makasih ya mbak " ucapku seraya meninggalkan meja mbak Rere dan menuju Zira.
" Zi balik yuk! " ajakku.
" Kenapa Sya? " tanya Zira.
" Nggak mood nih. Ayo balik " rengekku sambil menarik tangan Zira.
" Anak-anak banget sih Sya, nggak biasanya. Tapi Aku ikut ke rumah mu ya " katanya. Aku hanya mengangguk tanda setuju.
*****
" Sya, kamu ada dihubungi Reza nggak? " tanya Zira.
" Nggak ada Zi. Kenapa? Kamu dihubung Reza ya? Ciye " ledekku.
" Apaan sih Sya. Nggak ada apa-apa loh antara kami " kata Zira.
" Lah, yang bilang kalian ada apa-pa siapa Zi? Hayo, ketahuan deh " jawabku.
" Nggak tahu deh " balas Zira dengan muka cemberut.
" Zi makin cemberut makin cantik. Reza makin jatuh cinta " godaku sambil keluar dari kamar. Spontan Zira melempar bantal mendengar perkataanku itu.
*****
" Arka.. Dika.., nama yang berbeda. Tapi wajahnya sama. Ada yang nggak beres " gumamku.
Akupun kembali lagi ke kamar. Kulihat wajah Zira tersenyum sumringah.
" Ciye.. Rasya ya gitu dia sekarang. Nggak mau cerita-cerita lagi " ucap Zira yang tengah memegang Hp-ku.
" Cerita apa Zi? " tanyaku heran.
" Arka " jawab Zira spontan.
" Kenapa sama Arka? " tanyaku lagi.
" Tadi dia itu nelfon kamu. Terus aku angkat deh telfonnya. Dia ngajak kamu jalan-jalan " ucap Zira dengan senyum lebar.
" Arka nelfon? Tahu nomorku dari mana itu anak " kataku.
" Sorry Sya. Tadi malam Reza minta nomor kamu. Jadi Zi kasih deh. Zi tanyak untuk apa dia nggak jawab " katanya dengan muka memelas.
" Zi.. Kamu ya. Terus tadi kamu jawab apa? " kataku.
" Zi jawab Sya mau jalan sama Arka " ucap Zira.
" Kalau gitu Zi yang pergi jalan sama dia. Rasya nggak mau " kataku berpaling dari Zira.
" Sya jangan gitulah. Kasiankan Arka kalau ntar nggak jumpa kamu. Dia suka sama kamu tuh " kata Zi merayu.
" Apaan sih Zi. Nggak mau tahu, Zi yang harus pergi jalan sama Arka " bantahku.
" Tapi nanti Arka jemput ke sini. Masa Zi yang keluar Sya. Nggak enak dong " elak Zira.
" Yaudah. Sya mau jalan sama dia. Tapi ini karena ulah Zi " kataku.
" Gitu dong sayang " ucap Zira sambil mencolek daguku.
Tak berapa lama kami adu argumen, wak Sumi mengetuk pintu kamar.
" Masuk " kataku.
" Ndok didepan ada orang yang cari kamu " kata wak Sumi.
" Siapa wak? " tanyaku.
" Nggak kenal ndok. Lebih baik ndok temui aja dulu " kata wak Sumi memberi saran.
" Yaudah wak, sebentar lagi Sya turun. Orangnya suruh masuk aja " kataku.
" Enje ndok " sahut wak Sumi seraya meninggalkan kamarku.
Dengan penasaran aku mulai menuruni anak tangga. Ku lihat seorang lelaki dengan jaket kulitnya tengah duduk di sofa.
" Ehem. Cari siapa ya mas? " ucapku.
Lelaki itu berbalik badan dan memberikan senyum termanisnya.
" Arka " kataku.
" Hey Sya " ucap Arka.
Aku hanya membalasnya dengan senyuman.
" Ada apa Ar kamu kemari? " tanyaku takut-takut.
" Kamu lupa Sya? Ditelfon tadi kamu bilang mau jalan " jawab Arka mencoba mengingatkan aku.
" Oh iya. Maaf Ar lupa. Berangkat sekarang nih? " kataku.
" Terserah kamu Sya " jawabnya ringan.
Detak jantungku berdenyut tak beraturan. Rasanya jantung ini telah hilang kendali saat ada didekat Arka.
" Kamu mau minum apa? " tawarku.
" Nggak usah Sya, makasih. Kita langsung jalan aja yuk " kata Arka.
" Tapi Sya belum ganti baju Ar " ucapku.
" Udah nggak masalah Sya. Kamu seperi ini juga kelihatan manis " katanya yang kini berdiri tepat didepanku. Mataku menatap matanya dalam. Arka juga membalas tatapan mataku. Detak jantung semakin tak karuan. Ditariknya tanganku untuk pergi.
*****
" Sudah sampai. Ayo turun Sya! " kata Arka. Aku hanya diam.
" Sya.. Ayo turun. Mau sampai kapan kamu duduk diatas motor " ucapnya. Aku masih tetap diam. Arka menghampiriku. Dia berdiri tepat didepanku.
" Sya kamu baik-baik ajakan? " tanya Arka. Aku hanya mengangguk. Arka memegang tanganku.
" Jantung Sya mau copot " kataku pelan.
" Kenapa? Karena kamu dekat akukan " kata Arka merayu.
" Apaan sih " kataku memukul pelan lengannya. " Sya hampir mati gara-gara Arka bawa motornya dengan kecepatan tinggi " kataku. Arka menertawaiku.
" Jadi dari tadi kamu takut? " tanya Arka menahan tawa.
" Udah jangan dibahas " kataku pergi meninggalkan Arka.
" Ini dimana? Kenapa Sya nggak pernah tahu tempat ini " kataku.
" Indahkan? " tanya Arka.
" Ya " ucapku singkat. Aku tak ingin banyak bicara. Yang aku mau hanya menikmati tempat yang indah ini. Tiba-tiba saja aku berniat untuk menanyakan tentang kehidupannya.
" Ar " ucapku pelan. Arka tak bersuara dia hanya melihat ke arahku.
" Aku boleh nanya ke kamu nggak? " kataku ragu-ragu.
" Boleh. Mau tanya apa Sya? " kata Arka.
" Selain main gitar kamu punya hobi lain? " tanyaku.
" Punya " jawabnya.
" Apa? " kataku.
" Traveling, makan, main futsal, juga nul.. Itu aja Sya " kata Arka.
" Hmm.. " kataku sambil mengangguk-angguk. " Tapi kenapa Arka tidak melanjutkan lanjutan pembicaraannya tadi " fikirku.
" Tempat tongkrongan favorite kamu? " tanyaku lagi.
" Rumah Dikta, di bukit ini dan... itu aja Sya " ucapnya.
" Kamu nggak suka ke perpus? Atau tempat membaca gitu? " tanyaku lagi.
" Enggak " jawab Arka singkat. " Kenapa kamu tanya gitu Sya? " selidiknya.
" Nggak kenapa-kenapa Ar. Kalau kamu suka ke perpus atau tempat baca lainnya bisa bareng sama Sya dan Zira " jelasku.
" Kamu suka baca? Baca apa? " tanya Arka antusias.
" Iya. Lebih sering baca novel Ar " jawabku.
" Wow, novel. Novel apa aja Sya? Pernah baca novel Dika Syahputra nggak? Kerab dikenal dengan Dika " kata Arka.
Aku terdiam mendengar nama yang disebut Arka. Sepertinya nama itu pernah ku dengar. Aku ingat. Nama itu, nama pria yang diperpus. Nama yang diberi tahu oleh mbak Rere. Mbak Rere juga bilang kalau dia hobi nulis. " Apa pria itu yang dimaksud Arka? " fikirku.
" Dika itu penulis baru ya? " tanyaku menyelidiki.
" Nggak. Dia udah lumayan lama berkecimpung didunia kepenulisan " jawab Arka.
" Dari mana kamu tahu? Kamukan nggak suka baca " kataku.
" Iya aku emang nggak suka baca Sya. Aku tahu Dika si penulis itu dari Reza. Kebetulan dia hobi banget sama baca " jawabnya.
" Ada yang nggak beres " celetukku dalam hati. Aku yakin ada yang disembunyikan Arka. Tapi apa? "Aku haru bisa cari tahu semuanya " ucapku dalam hati.
*****
" Sya " panggil Arka lembut. Aku menoleh ke arahnya. Perlahan Arka memandangiku, semakin lama pandangannya semakin dalam. Arka memegang tanganku lembut.
" Aku suka sama kamu Sya saat awal kita jumpa di cafe " kata Arka. Aku terdiam mendengar pernyataan dari Arka.
" Kamu mau jadi pacar aku nggak Sya? " tanyanya.
Jujur aku bingung untuk menjawab pertanyaan dari Arka. Tapi dengan mudahnya bibirku mengatakan " ya ". Hari itu aku resmi berpacaran dengannya. Ini hari yang spesial untuk kami.
*****
" Sayang balik yuk! " ajak Arka setelah menerima telfon yang aku tak tahu dari siapa.
" Tapi..". Belum aku menyelesaikan pembicaraan Arka menarik tanganku untuk kembali pulang. Dengan terpaksa aku mengikutinya.
Diperjalanan tiba-tiba saja Arka mengerem motornya mendadak. Aku tersontak kaget.
" Sya sorry aku nggak bisa antar kamu sampai ke rumah " kata Arka.
" Kenapa? Kamu mau kemana? " Tanyaku heran.
" Maaf sayang aku tinggal ya " katanya sambil berlalu pergi.
" huft " helaku kecewa.
Aku langsung menyetop ojek yang lewat. Kuminta abang ojek itu mengikuti motor Arka. Arka membelok masuk ke parkiran Gramedia Gajah mada. Ku suruh abang ojek untuk berhenti dipinggir jalan. Ku lihat Arka memakai wig atau yang dikenal rambut palsu. Bukan hanya wig yang Arka pakai, tapi dia juga memakai kacamata dan menambahkan sedikit tahilalat dipipi kirinya. Setelah itu baru Arka masuk ke dalam Gramedia.
Aku yang melihat tingkahnya semakin curiga. Ku ikuti Arka dari belakang.
" Jangan-jangan Arka itu Dika? Arka pasti berbohong padaku dan Zira " fikirku. Terusku ikuti Arka sampai tempat dia berhenti.
Arka melewati kerumunan banyak orang. Ku dengar sebagian orang menyebut nama Dika.
" Dika " ucapku kaget.
" Maaf ini ada apa kak? " tanyaku pada salah seorang.
" Ada peluncuran novel terbaru Dika. Jadi buat 50 orang terdepan bisa dapat tandatangan dan foto bareng " jawab orang itu.
" Makasi kak " kataku. Orang itu tak menghiraukan ucapanku lagi.
Aku mengikuti antrean sama seperti orang lainnya.
" Maaf sudah 50 orang mbak " kata seorang pria bertubuh kekar.
" Tapi saya mau jumpa Dika pak. Sebentar aja " jawabku.
" Nggak bisa mbak. Sudah habis antreannya. Kalau mbak mau lain waktu saja " kata pria itu.
" Tapi pak.. ". Belum lagi aku menyelesaikan perkataanku pria itu telah menjauhkanku dari meja Dika alias Arka. Siapapun dia yang jelas satu orang, namun dua nama.
" Arka.. " panggilku. Arka menoleh kaget kearahku. Dia mendekatiku dan menyuruh pria berbadan kekar itu meninggalkan kami. Sekarang tak banyak lagi orang-orang di dalam gramedia.
" Jahat! " ucapku singkat sambil berlalu meninggalkannya.
" Sya aku bisa jelasin semua " katanya mencoba menahanku.
" Kamu mau jelasin kalau kamu itu Dika penulis yang tenar. Dan kamu itu juga Arka gitaris dari band ternama " kataku dengan suara bergetar. Mataku mulai berkaca-kaca. Rasanya aku tak percaya kalau Arka tega membohongi aku.
" Sya dengarin aku dulu. Sya please " kata Arka disampingku.
" Kamu berhasil menipu semua orang Ar. Bukan cuma aku yang kamu bohongi, tapi mereka penggemar kamu juga. Bahkan kamu juga bohongi diri kamu sendiri Ar " kataku berlalu pergi. Aku menyetop taxi yang lewat. Arka mengejarku dengan motornya.
*****
" Sya..Sya " kata Arka dari luar pagar rumahku. Aku tak memperdulikannya. Aku langsung menuju kamarku. Ku rebahkan tubuhku dan kutenangkan fikiranku. Buliran air mata itu masih menyentuh lembut pipiku.
" Sya kamu kenapa? " tanya Zira yang sedari tadi masih dirumahku. Aku tak bergeming.
" Sya dibuat ada Arka tuh. Kamu nggak mau temui dia? " ucapnya yang melihat Arka dari jendela kamarku. " Enggak Zi. Sya nggak mau kenal sama penipu itu lagi " kataku.
" Penipu? Makasudnya? " tanya Zira kaget.
" Zi, kita udah dibohongi sama Arka. Dia itu pria yang ada di perpustakaan. Pria yang Zi suka " jelasku.
" Arka pria berkacamata yang Zi suka. Nggak mungkin Sya " ucap Zira tak percaya.
" Iya Zi. Maaf Sya udah khianati Zi. Tapi Sya nggak ada hubungan apa-apa lagi sama dia " kataku melihat raut wajah Zira.
" Sya udah jadian sama dia? " tanyanya.
" Tadinya sih iya Zi. Tapi begitu Sya tahu Arka itu pria perpus yang Zi suka Sya langsung putusin dia " jawabku penuh sesal. Ku lihat wajah Zira memerah. Matanya mulai berkaca-kaca. Kupeluk Zira dengan penuh rasa bersalah.
" Maaf Zi, maaf " kataku dalam pelukan. Kurasakan butiran air matanya menetes diatas pundakku.
" Nggak salah Sya juga. Semua ini hanya salah paham Sya " kata Zira sembari menghapus air mataku. Kami tersenyum.
" Kita harus temui Arka " kata Zira.
" Apa? Mau ngapain lagi Zi? " tanyaku kaget.
" Kita harus minta penjelasan dari Arka Sya " ucapnya dengan senyum.
" Tapi Zi.. ".
" Udah Sya, nggak baik marahan sama orang lama-lama. Lagian Arka begitu pasti ada alasan kuat " jelas Zira mendekatiku. Aku hanya tersenyum melihat Zira.
" Ayo turun! Kita temui Arka sekarang " ucap Zira menarik tanganku. Ku ikuti langkah Zira dari belakang.
*****
" Ar, ayo masuk! " ucap Zira yang mengagetkan Arka. Arka mengikuti Zira dibelakang.
" Duduk Ar " kata Zira mempersilahkan. Sedangkan aku sudah duduk disana terlebih dahulu.
" Aku minta maaf Sya. Aku nggak maksud buat bohongi kamu " kata Arka mulai angkat bicara.
" Jadi apa maksud kamu? Kenapa nggak cerita dari awal kalau kamu itu pria yang ada di perpustakaan? " tanyaku sedikit kesal.
" Dari awal aku mau cerita semuanya Sya. Tapi karena aku tahu Zira suka sama sosok Dika yang ada padaku terpaksa aku memutuskan untuk menyembunyikan semuanya Sya " jelas Arka.
" Apa salah Zira suka sama kamu Ar? " kataku dengan nada tinggi.
" Sya tenanglah " bujuk Zira.
" Nggak salah Sya kalau Zira suka sama aku yang bersosok Dika. Tapi dari awal aku ketemu kamu di perpus aku udah suka sama kamu. Dan kebetulan pula kita ketemu di cafe bareng teman-teman aku. Jadi aku rasa itu jalan terbaik Sya. Tapi aku sayang sama kamu Sya " papar Arka.
" Jalan terbaik? Apa kamu nggak pernah fikir Ar kalau kamu itu nyakiti Zira dan juga aku " kataku dengan nada bergetar.
" Iya Sya aku ngaku salah. Zi maaf ya. Bukan bermaksud nyakiti hati kamu. Tapi aku sukanya sama teman kamu, Rasya " ucap Arka pada Zira.
" It's ok Ar. Lagian aku udah move on juga " ucap Zira penuh senyum.
" Move on? " ucapku dan Arka bersamaan.
" Iya. Aku udah tahu kalau Arka itu Dika. Dan sekarang aku udah punya Reza pengganti Dika " jelas Zira.
" Jadi Zi udah tahu luan kalau Arka itu Dika " ucapku kaget.
" Sorry Sya " kata Zira mengerutkan dahi. " Maafin Arka dong Sya kasihan dia " ucap Zira melihat Arka. Aku hanya menganggukan kepalaku, yang berisyarat kalau aku telah memaafkan Arka. Arka tersenyum lebar.
" Makasih Sya. Makasih banyak sayang " ucapnya menatapku. Aku hanya membalas dengan senyum.
" Kita masih pacarankan? " tanya Arka canggung.
" Yaiyalah " sambar Zira.
Kami bertiga saling melihat satu sama lain. Dan tertawa lepas melihat tingkah Zira yang konyol.
The End..
1 komentar
Wedeeee......ceritanyaaa.:D
BalasHapusTerus pertanyaan saya satu...kalai suami yang baik itu yg gitaris juga?😄